JERNIHNEWS.COM-Sidang terdakwa petinggi KAMI Dr. Anton Permana Dt. Hitam kembali berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (03/01/2021). Pada sidang ke-50 ini, tim penasihat hukum dan terdakwa menghadirkan begawan hukum tata negara kondang Dr. Refly Harun.

Sidang dimulai agak molor, yakni pukul 11.WIB 00 di karenakan ada pengucapan pakta integritas di ruang utama PN Jaksel.
Seperti biasa sidang di mulai dengan pertanyaan dari tim penasihat hukum Drs. Muhammad Alkatiri, SH, MBA. Dia menanyakan basic pendidikan dan sedikit kiprah ahli Refly Harun dalam dunia hukum tata negara.
Disampaikan Refly Harun menamatkan S1 hukumnya di UGM Yogyakarta, S2 di UI dan juga di Australia, dan terakhir S3 di Universitas Andalas Padang. Sederet karya buku, jurnal, artikel Refly Harun dibacakan Alkatiri, termasuk juga riwayat pekerjaan Refly Harun baik dimulai dari jadi jurnalis, asisten pribadi pengacara kondang Adnan Buyung Nasution, staf ahli di Mahkamah Konstitusi, tim pakar Kementerian Pertahanan, staf ahli Ketua DPR RI era Marzuki Ali, Tim Pansel Hakim Mahkamah Konstitusi, hingga kiprah Refly di dunia akademisi sebagai dosen tetap di Universitas Tarumanegara, dosen tidak tetap di UGM Yogyakarta dan sebagai konsultan hukum di Refly Harun Lawyer and Patner.
Secara kapasitas dan kompetensi, Refly tentu sudah tidak diragukan lagi tentang kepakarannya dalam dunia hukum tata negara. RH begitu panggilan populis Refly Harun.
Selanjutnya, Alkatiri menanyakan maksud dari antar golongan dalam pengertian SARA dalam hukum tata negara, sejarah dan posisi Peraturan Pidana nomor 1 Tahun 1946, dan ujaran kebencian UU ITE yang didakwakan terhadap Anton Permana.
Secara rinci RH menjelaskan bahwa dalam azas hukum ada namanya memory vanlesvantung atau asbabul nuzul kenapa lahirnya sebuah produk hukum, khusus peraturan pidana nomor 1 tahun 1946.
Bahwa peraturan tersebut dibuat oleh BP KNIP (Badan Pelaksana Komite Nasional Indonesia Pusat) sebuah lembaga indenpenden yang bekerja membantu kerja Presiden Soekarno-Hatta di awal kemerdekaan. Dan ketika itu belum ada DPR RI seperti sekarang.
RH lalu menjelasan bahwa peraturan tersebut dibuat sebagai dasar hukum (undang-undang darurat-red). Untuk tindakan kepada suatu kelompok yang tidak pro terhadap kemerdekaan serta yang pro pada Belanda di mana mereka sengaja membuat kegaduhan dan keonaran dengan menyebarkan berita-berita bohong untuk merongrong kemerdekaan RI yang masih bayi.
Artinya, sungguh sangat tidak relevan kalau peraturan tersebut masih digunakan dalam kondisi alam demokrasi saat ini. Di mana UUD 1945 sebagai konstitusi yang menjadi sandaran utama juga sudah mengalami amandemen. Dengan tegas RH mengatakan, "Menurut pendapat saya peraturan pidana nomor 1 tahun 1946 ini sungguh sangat tidak relevan kalau digunakan dalam alam demokrasi saat ini. Meskipun secara teori ada dua faktor yang menyebabkan sebuah aturan hukum positif itu digunakan. Pertama, karena belum dicabut (de jure), kedua karena faktor sosiologis".
Begitu juga dalam hal memahami antar golongan dalam ujaran kebencian dalam SARA. RH juga mengatakan, "Sependek pengetahuan saya kata golongan itu hanya ada pada saat hukum kolonial azas concordasi yang membagi tiga golongan manusia seperti timur asing, timur jauh dan pribumi. Serta istilah utusan golongan di zaman orde baru untuk posisi anggota MPR RI. Dengan tegas saya jelaskan bahwa TNI dan Polri itu adalah alat negara yang bekerja untuk negara dan seluruh rakyat Indonesia. Bukan termasuk antar golongan seperti yang didakwakan kepada Anton Permana dalam video TNI KU SAYANG, TNI KU MALANG".
Selanjutnya RH juga menjelaskan dengan lugas tentang, prinsip dasar negara demokrasi dalam hal kebebasan berpendapat, menyampaikan pikiran dan opini.
"Menyampaikan pikiran, pendapat, dan opini dijamin oleh konstitusi kita sesuai UUD 1945 pasal 28. Artinya, tidak ada dimanapun negara demokrasi di dunia ini yang opini dan pendapat dipidanakan. Kalau ada opini dan pendapat yang tidak sesuai, di dalam mekanisme demokrasi ada salurannya yaitu melalui kontra pendapat atau kontra opini baik lisan maupun tulisan," jelas Refly Harun.
"Menurut pendapat saya, atas nama opini dari siapapun itu tidak bisa dipidanakan. Karena itu dilindungi dan dijamin UUD 1945. Jangankan opini atau pendapat dari seorang ahli dan akademisi. Pendapat dan opini dari masyarakat biasapun dijamin konstitusi. Karena di situlah perbedaan kehidupan di negara demokrasi dan otoriter. Dan Indonesia menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi. Jadi seharusnya tidak ada kejadian orang memberikan opini, pendapat, apalagi kajian akademis lalu hanya karena like and dislike, bikin telinga merah penguasa lalu dipidanakan," kata RH.
Terakhir Refly Harun juga menjelaskan tentang bagaimana seandainya dalam hukum tata negara ketika sebuah objek hukum dinyatakan inskonstitusional oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
RH menjelaskan, "Seharusnya menurut pendapat saya, sidang hari ini sudah ditiadakan atau minimal terdakwa mendapatkan abolisi dari pemerintah. Karena, objek hukum yang diperjuangkan oleh terdakwa ternyata benar adanya. Yaitu cacat formil, cacat prosesur dimana UU Ciptaker dinyatakan inskonstitusional. Meskipun ada embel-embel bersyarat bisa diperbaiki dalam dua tahun ke depan".
Setelah pertanyaan dari tim penasihat hukum, selanjutnya kesempatan yang sama juga diberikan kepada tim JPU (Jaksa Penuntut Umum) memberikan pertanyaan kepada ahli.
Tim dari JPU yang diwakili Lusyana menanyakan kedudukan atau posisi Refly Harun dalam organisasi KAMI. Dan Refly Harun menjawab bahwasanya beliau adalah salah satu deklarator dari KAMI. Namun, terkait aktifitas dan posisi lainnya Refly Harun menjawab tidak tahu karena dia tidak aktif dan menyatakan KAMI adalah sebuah organisasi gerakan moral tanpa AD/ART apalagi akta hukum.
Tim JPU selanjutnya bertanya kepada Refly Harun apakah membaca atau melihat dua postingan video terdakwa. Refly Harun menjawab tidak pernah melihat dan mendengar.
Jawaban RH ini langsung dikejar tim JPU terkait, lalu kenapa Refly Harun seakan tahu dan menjustifikasi bahwa video atau tulisan terdakwa Anton Permana tidak bisa dipidanakan sedangkan RH sendiri tidak pernah membacanya?
Sontak pertanyaan ini mendapat keberatan dari tim PH Alkatiri karena dianggap JPU masuk ke dalam substansi sedangkan ahli tidak bisa menjawab subtansi di luar keilmuannya. Sampai hakim menegur dua belah pihak agar saling tertib dan memahami konteks substansi persidangan.
Refly Harun yang dikejar JPU dengan santai menjawab,"Bahwa yang dimaksudkan opini atau pendapat yang tidak bisa dipidanakan yang saya maksud di keterangan awal adalah berlaku untuk semua pihak. Siapapun dia walaupun masyarakat biasa. Jadi menurut pendapat saya, selagi yang disampaikan itu adalah opini dan pendapat tidak bisa dipidanakan. Kecuali kalau itu fakta, ya silahkan cari dan buktikan dengan fakta pembanding dan itu bukan ranah saya," tegas Refly Harun.
Akhirnya sidang ini pun selesai tepat pukul 13.30. Sidang selanjutnya masih akan menghadirkan ahli dari pihak terdakwa untuk melakukan pembelaan senin minggu depan. Di tempat dan waktu yang sama. (rel/erz)