E-mail: irwandi@uinbukittinggi.ac.id
- Penulis (enam dari kanan) dan tim penelitian kolaborasi internasional dari UIN Bukittinggi mengunjungi Universitas Islam Selangor, 24-25/92024 untuk riset tentang sikap moderat mahasiswa dalam beragama.
Perilaku jalan tengah atau bersikap moderat menjadi pilihan terbaik bagi generasi muda. Sikap jalan tengah dalam beragama bukan hanya tuntunan dan tuntutan dalam beragama, tetapi juga wujud dari kemanusiaan.
Setidaknya ada empat ayat dalam Al-Qur'an yang menjadi landasan pentingnya bersikap moderat dalam segala hal, termasuk dalam beragama.
Pertama, prinsip perilaku jalan tengah dalam beragama itu ditunjukkan pada surat Al-Baqarah ayat 216. Diceritakan pada ayat tersebut para sahabat enggan berperang. Namun, Allah Ta'ala tetap memerintahkannya meskipun peperangan sangat tidak dikehendaki para sahabat.
Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk moderat sehingga ia akan membenci segala bentuk peperangan, kekerasan, dan sentimen. Jika manusia kembali pada kemanusiaan, niscaya akan menjadi pribadi moderat. Karena itu, pesan bersikap moderat dalam beragama sebenarnya merupakan pesan kemanusiaan.
Kedua, pesan untuk bersikap moderat termaktub dalam surat Yunus ayat 99. Ayat itu menyatakan dengan terang-terangan bahwa perbedaan keimanan adalah sebuah keniscayaan. Jika Allah Ta'ala menghendaki satu agama yang diimani, tentu mudah bagi Allah Ta'ala. Kenyataannya, Allah Ta'ala tidak menghendaki demikian. Sesungguhnya Allah Ta'ala hendak menguji manusia dengan beragam pilihan.
Oleh sebab itu, keragaman itu adalah sebuah keniscayaan adanya dan ia adalah ujian bagi manusia. Dalam surat Al-Baqarah ayat 256 ditegaskan: Laa ikraha fiddin (tidak ada paksaan dalam menganut agama). Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya, Tafsir Munir, menafsirkan ayat itu bukan hanya anjuran bersikap toleran sebagai bentuk sifat moderat dalam beragama. Lebih dari itu, ayat tersebut mengandung pesan tentang kebebasan memilih agama.
Ketiga, sikap jalan tengah tersebut ditunjukkan oleh surat An-Nahl ayat 125. Bahwa pengetahuan akan kebenaran dan kesesatan hanyalah milik Allah Ta'ala. Kita tidak boleh mengina orang lain hanya karena berbeda. Karena kita tidak akan tahu akhir hidup seseorang.
Pemahaman terhadap ayat itu diperkuat dengan teguran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam kepada Usamah bin Zaid bin Haritsah, sahabat yang menghunuskan pedangnya kepada seorang musuh yang bersyahadat saat terpojokkan oleh pasukan Muslim. Usamah beralasan bahwa syahadat tersebut hanyalah taktik agar ia tidak dibunuh. Mendengar alasan tersebut, Nabi lantas bersabda: Nahnu nahkumu bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair (Kita hanya menghukumi apa yang tampak, dan Allah Ta'ala yang menghukumi apa yang tersimpan di hati seseorang).
Keempat, dalam surat Al-An'am ayat 108 terang sekali bahwa kita tidak diperkenankan untuk menghina agama lain dengan alasan apapun juga. Hal yang harus diingatkan khusus oleh seorang muslim adalah agama lahir sebagai sumber kedamaian, bukan sumber kebencian.
Merujuk pandangan yang di atas, tertompang harapan kita agar anak muda dapat mengambil peran menjadi pelopor untuk mewujudkan berperilaku jalan tengah dalam beragama.()